Makalah Mudharabah dan Musyarakah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam sangat
menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan
bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan
sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada
seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu usaha, walaupun
direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal.
Konsep Bagi hasil,
dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang sangat
mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan.
Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam (Antonio, 2001).
Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap sebagai
sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha, sehingga
melanggar aspek keadilan.
Bahwa kegiatan-kegiatan
investasi bank Islam oleh para teoritisi Perbankan Islam membayangkan mesti di
dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah,
atau yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS). Dalam
makalah ini kami akan membahas kerjasama dalam bisnis yang berkaitan dengan
mudharabah dan musyarkah.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
Konsep dasar mudharabah dan musyarakah?
2. Apa
Landasan hukum mudharabah dan musyarakah?
3. Rukun
dan syarat mudharabah dan musyarakah?
4. Apa
Hak dan kewajiban pengelola?
5. Bagaimana
Pemberhentian dalam akad mudharabah?
6. Bagaimana
Fatwa DSN tentang mudharabah dan musyarakah?
7. Bagaimana
Praktek mudharabah dan musyarakah dalam perbankan syariah?
8. Apa
Macam-macam syirkah?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui dan memahami Konsep dasar,Landasan hukum,Rukun dan syarat
mudharabah dan musyarakah.
2. Untuk
mengetahui dan memahami Hak dan kewajiban pengelola.
3. Untuk
mengetahui Pemberhentian dalam akad mudharabah.
4. Untuk
mengetahui Fatwa DSN tentang mudharabah dan musyarakah.
5. Untuk
mengetahui Praktek mudharabah dan musyarakah dalam perbankan syariah.
6. Untuk
mengetahui macam-macam syirkah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. MUDHARABAH
1. Konsep
Dasar Mudharabah
Allah menciptakan
manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu sama
lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan
keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki
skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang
ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan
kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha
diantaranya Al Mudharabah.
Pengertian Mudharabah
Syarikat Mudharabah
memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya
di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah
untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena
diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang
umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:
عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ
مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia mengetahui bahwa
akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di
muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang
berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs.
Al Muzammil: 20)
Ada juga yang
mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang
dimiliki.
Dalam istilah bahasa
Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari kata muqaaradhah yang
artinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan:
تَقَارَضَ الشَاعِرَانِ
“Dua orang penyair
melakukan muqaaradhah,” yakni saling membandingkan
syair-syair mereka. Disini perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal
yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang
menyatakan bahwa kata itu diambil dari qardh yakni memotong. Tikus itu
melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya hingga putus. Dalam kasus
ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola
modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya.
Sedangkan dalam istilah
para ulama Syarikat Mudharabah memiliki pengertian: Pihak pemodal (Investor)
menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan
berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan. Dengan kata lain Al Mudharabah
adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan
harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara
keduanya sesuai dengan kesepakatan. Sehingga Al Mudharabah adalah bentuk kerja
sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al Mal/Investor)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan suatu
perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan
kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.
2. Landasan Hukum
Mudharabah
Secara umum dasar
hukum al mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan
usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits sebagai berikut :
a. Al Qur’an
Artinya : dan dari orang-orang yang berjalan
dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT...” (Al-Muzzamil : 20)
Yang menjadi argument dari al muzzamil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang
sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Apabila
Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah (al-Jumuah: 10).
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا
اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ
مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Artinya : Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu. (Al-Baqarah:
198).
b. Al-Hadits
كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ
بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ
أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ
دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه .(الطبراني
فى الأوسط عن ابن عباس
.Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muntalib jika memberikan dana
kepada mitra usahanya secara Mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak
dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak.
Jika menyalahi aturan tersebut , maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas
dana tersebut. Disampaikanlah syarat-ayrat tersebut kepada Rasulullah, dan
Rasulullah pun membolehkannya.”(HR. Thabrani).
عن صالح بن صهيب عن أبه قال:
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم ثلاث فيهن البركة البيع إلي أجل والمقارضة وأخلاة
البر باشعير للبيت لا للبيع
Dari shalih bin shuhaib
ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda, “ tiga hal yang didalamnya terdapat tiga
keberkatan : jual beli secara tangguh, muqharadah (mudharabah), dan mencampur
gandum untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR.
Ibnu Majah).
c. Ijma
Diantara ijma’ dalam
mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jamaah dari sahabat
menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak
ditentang oleh sahabat lainnya.[1]
d. Qiyas
Mudharabah diqiyaskan
kepada al-Musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun).
Selain diantara manusia ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Disatu sisi
banyak orang kaya yang tidak dapat mengelola hartanya. Disisi lain tidak
sedikit orang yang mau bekerja tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian
adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi
kebutuhan kedua golongan diatas, yakni untuk kemaslahatan umat manusia dalam
rangka memenuhi kebutuhan mereka.
3. Rukun
dan syarat mudharabah
a. Rukun
Mudharabah
Para ulama berbeda
pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun
mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni dengan menggunakan lafadz mudharabah,
muqaridah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur ulama
berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga yaitu:
1) Dua
orang yang melakukan akad (al-aqidani)
2) Modal
(ma’qudalaih)
3) Sighat
(ijab dan qabul)
Sedangkan ulama
salafiyah lebih merinci lagi menjadi lima rukun, yaitu modal, pekerjaan, laba,
sighat, dan dua orang yang akad.[2]
b. Syarat
mudharabah
1) Harta
atau Modal
· Modal
harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya, seandainya modal berbentuk barang,
maka barang tersebut harus dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang
beredar (atau sejenisnya).
· Modal
harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
· Modal
harus diserahkan kepada mudharib, untuk memungkinkannya melakukan usaha.
2) Keuntungan
· Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan yang mungkin
dihasilkan nanti. Keuntungan yang menjadi milik pekerja dan pemilik modal harus
jelas persentasinya.
· Kesepakatan
rasio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak.
· Pembagian
keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh atau
sebagian modal kepada shahib al-mal.[3]
4. Hak
dan kewajiban pengelola
Hak mudharib(pengelola) adalah
kebebasan menjalankan usaha sesuai dengan keahliannya tanpa ada gangguan dari
pihak mana pun, termasuk shahibul maal(pemilikmodal). Mudharib juga
berhak memperoleh upah/gaji dari investasi yang dijalankan.
Kewajiban mudharib adalah
menjalankan usaha yang diamanahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya untuk
mendapatkan keuntungan usaha sebagaimana rencana investasi yang telah
dibuat. Mudharib harus mempunyai keahlian dalam
bisnis/investasi yang dijalankan. Mudharib juga harus mematuhi
syarat yang ditetapkan shahibul maal, serta menyediakan barang jaminan
jika sudah disepakati bersama.
5. Pemberhentian
dalam akad mudharabah
Berakhirnya suatu
usaha mudharabah dapat terjadi apa bila terjadi hal-hal
sebagai berikut:
1. Debitur telah
membayar lunas atas modal yang diterimanya.
2. Pembatalan
perjanjian mudharabah yang dilakukan oleh pihak debitur.
3. Musnahnya
objek pembiayaan.
4. Terjadinya
kerugian total yang dialami oleh kreditur sehingga menyebabkan tidak sanggupnya
mengembalikan modal dari debitur.
5. Kreditur
mengakhiri pembiayaan apabila usahanya mengalami kerugian terus menerus.[4]
6. Fatwa
DSN Tentang Mudharabah
Fatwa DSN
No.07/DSN-MUI/IV?2000 tentang pembiayaan mudharabah (Qiradh). Dewan Syari’ah
Nasional secara resmi didirikan sebagai lembaga syari’ah yang bertugas
mengayomi dan mengawasi operasional aktivitas perekonomian lembaga keuangan
syari’ah (LKS). Selain itu juga untuk menampung berbagai masalah/kasus yang
memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dan penangganannya oleh masing-masing
LKS. DSN sebagai sebuah lembaga yang dibentuk MUI secara struktural berada
dibawah MUI. Sementara kelembagaan DSN sendiri belum secara tegas diatur dalam
perundang-undangan.[5]
7. Praktek
mudharabah dalam perbankan syari’ah
Istilah musyarakah
dalam ekonomi syariah sebenarnya merujuk pada syirkah ‘Inan, dimana ada dua
orang atau badan masing-masing mempunyai modal kemudian mengelola bersama suatu
usaha.
Pada praktek bank
syariah di Indonesia, sebagian besar hanya pihak bank yang memberikan
kontribusi dana, adapun sistem bagi hasilnya menggunakan sistem revenue
sharing. Praktek tersebut jelas tidak sesuai dengan prinsip. Dengan
praktek revenue sharing, karenanya kita tidak pernah mendengar
bank syariah mengalami kerugian. Meski usaha merugi, bank tidak akan merugi.
Minimal, bagi hasil mendapatkan 0 tetapi modalnya tetap utuh.[6]
B. MUSYARAKAH
1. Konsep
dasar musyarakah
Musyarakah adalah
kerjasama yang didasarkan atas bagi hasil. Berbeda dengan akad mudharabah di
mana pemilik dana menyerahkan modal sebesar 100% dana pengelola dana
berkontribusi dalam kerja.
Dalam musyarakah, para
mitra berkontribusi dalam modal maupun kerja. Keuntungan dari usaha syariah
akan dibagikan kepada para mitra sesuai dengan nisbah yang disepakati para
mitra ketika akad, sedangkan kerugian akan ditanggung para mitra sesuai
dengan proporsi modal.
Para mitra melakukan
akad musyarakah dilandasi dengan keinginan kuat untuk meningkatkan harta
kekayaan yang dimilikinya melalui kerjasama diantara mereka.
Pengertian musyarakah
Al-musyarakah adalah
akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. [7]
Menurut Dewan syriah
Nasional, Musyarakah itu pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua
pihak atau lebih suatu usaha tertentu, dimana masing masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedang menurut Bank Indonesia adalah akad
kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal unruk
membiayai suatu jenis usah halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan
dibagi sesuai dengan nasabah yang telah disepakati.
2. Landasan
hukum musyarakah
Landasan hukum dari
musyarakah ini antara lain:
a. Al
Qur’an
Dalam firman Allah pada
Surat An-Nisa’ ayat 12 yang berbunyi ;
فان
كانوا اكثر من ذلك فهم شركاء في الثلث .(النساء : 12)
“Dan jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu pada yang sepertiga itu”.
Ayat ini, menurut
mereka berbicara tentang perserikatan harta.
Dalam firman Allah
surat Sad ayat 24 yang berbunyi:
قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ
نَعْجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِ ۖ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ
عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ
ۗ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ
Daud berkata:
"Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa
Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud
dan bertaubat. (Q.S. Sad: 24).
Ayat ini
merujuk pada dibolehkannya praktik akad musyarakah. Lafadz “ al-
khulata “ dalam ayat ini bisa diartikan saling
bersekutu/partnership, berekutu dalam konteks ini adalah kerjasama dua atau
lebih pihak untuk melakukan sebuah usaha perniagaan.
Bardasarkan pemahaman ini jelas sekali bahwa pembiayaan musyarakah mendapatkan
legalitas dari syari’ah.
b. Al-Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ
قَالَ: إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ, مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا
صَاحِبَهُ, فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا (سنن أبي داود : ٢٩٣٦)
Dari Abu Hurairah ,
Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya Allah berfirman: "Aku adalah pihak
ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama tidak ada salah seorang diantara
mereka yang berkhianat kepada sahabatnya. Apabila ia telah mengkhianatinya,
maka aku keluar dari keduanya." (Sunan Abu Daud : 2936).
Merupakan dalil lain
dibolehkannya praktik musyarakah. Hadits ini merupakan hadits qudsi dan
kedudukannya shahih menurut hakim. Dalam hadits ini Allah memberikan pernyataan
bahwa Dia akan bersama dua orang yang saling bersekutu dalam suatu usaha
perniagaan, dalam arti, Allah akan menjaga, memberikan pertolongan dan berkah-Nya
atas usaha perniagaan yang dilakukan, usaha yang dijalankan akan semakin
berkembang sepanjang tidak ada pihak yang berkhianat.
c. Ijma’
Ibnu Qudamah dalam
kitabnya, al-mughni, telah berkata,”Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap
legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam
beberapa elemen darinya”.
Berdasarkan sumber
hukum di atas maka secara ‘Ijma para ulama sepakat bahwa hukum musyarakah yaitu
boleh. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya. Ibnu Qudamah dalam
kitabnya al-Mughni telah berkata: kaum muslimin telah berkonsensus terhadap
legimasi Musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam
beberapa elemen darinya.
3. Rukun
dan syarat musyarakah
a. Rukun
Rukun merupakan sesuatu
yang wajib dilakukan dalam suatu transaksi (necessary condition), begitu pula
pada transaksi yang terjadi pada kerja sama bagi hasil al-Musyarakah. Pada
umumnya, rukun dalam muamalah iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada
tiga yaitu :
1) Shigat
(lafal) ijab dan qabul
2) Pelaku
akad, yaitu para mitra usaha
3) Obyek
akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh).
Dalam akad kerja sama
musyarakah, pernyataan ijab qabul harus menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak. Pihak-pihak yang melakukan akad juga harus cakap hukum
seperti berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
Selain itu juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Selain itu
juga setiap mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang lain dengan
perjanjian yang disepakati bersama.
b. Syarat
1) Harus
mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan
2) Pembagian
keuntungan yang jelas
3) Pembagian
keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal
atau kewajiban.
4. Macam-macam
syirkah
Tercipta karena adanya
kesepakatan dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan
modal musyarakah dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Al muyarakah ini
terdapat lima macam, yaitu:
a. Syirkah
al-inan yaitu para pihak yang mencampurkan modal yang tidak sama
misalnya Rp. X dicampur dengan Rp. Y. Sehingga keuntungan dibagi berdasarkan
kesepakatan nisbah. Sedangkan, kerugian dibagi berdasarkan besarnya proporsi
modal yang ditanamkan dalam syirka tersebut.
b. 2.Syirkah
mufawadha yaitu para pihak yang mencampurkan modal yang sama, misalnya
Rp. X dicampur dengan Rp. X. Sehingga keuntungan serta kerugian yang
dibagi masing-masing pihak jumlahnya sama.
c. 3. Syirka
al-A’maal/ Abdan yaitu para pihak yang mencampurkan modal yang sama
tetapi berupa jasa misalnya dua orang arsitek yang menggarap sebuah proyek
maka, keuntungan dibagi menurut nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang
berserikat. Sedangkan kerugian, kedua belah pihak sama-sama menanggung
yaitu dalam bentuk hilangnya segala jasa yang telah dikonstribusikan.
d. Syirkah
Wuju yaitu kontrak dua orang ataua lebih yang memiliki reputasi dan
prestise baik serta ahli dalam bisnis, mereka membeli barang secara kredit dari
satu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai.Jenis al-musyarakah
ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan jaminan
tersebut.Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut musyarakah piutang.Keuntungan
dibagi berdasararkan keputusan nisbah masing-masing pihak.Sedangkan kerugian,
hanya pemilik modal saja yang menanggung kerugian financial yang terjadi.Pihak
yang menyumbangkan reputasi/nama baik, tidak perlu menanggung kerugian
financial, karena tidak mnyumbangkan modal financial apapun. Namun demikian,
pada dasarnya ia tetap menanggung kerugian pula., yakni jatuhnya reputasi/nama
baik.[8]
e. Syirkah
mudharabah yaitu syirkah yang apabila terjadi keuntungan maka dibagi
hasil sesuai nisbah yang disepakati kedua belah pihak yaitu pemilik modal serta
pelaku usaha. Namun, apabila rugi maka akan terjadi perbedaan yaitu penyandang
modal (shahib al-maal) = berupa kerugian financial, sedangkan pihak yang
meengkonstribusi jasa (mudharib) = berupa hilangnya waktu dan usaha yang selama
ini sudah ian kerahkan tanpa mendapatkan imbalan apapun. Biasanya
pembahasan syirkah mudharabah akan mendapatkan tersendiri secara lebih
terperinnci menurut para ulama.
5. Fatwa
DSN tentang Musyarakah
Keputusan fatwa DSN-MUI
nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah menjelaskan
dalam ketentuan mengenai obyek syirkah terkait dengan keuntungan dan kerugian
yakni :
· Keuntungan
harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa
pada waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian musyarakah
· Setiap
keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra
· Seorang
mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu,
kelebihan atau prosesntase itu diberikan kepadanya
· Sistem
pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
· Kerugian
harus dibagi antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing
dalam modal.
6. Praktek
musyarakah dalam perbankan syari’ah
Dari sekian banyak
jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah
‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan
syariah. Dimana, bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal
nasabah digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek.
Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan berdasarkan
nisbah yang telah disepakati bersama.
Adapun mekanismenya
yaitu:
a. Bank
dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan
dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu.
b. Nasabah
bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta
dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti
melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang
dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan.
c. Pembagian
hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang
disepakati.
d. Nisbah
bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi,
kecuali atas dasar kesepakatan para pihak.
e. Pembiayaan
atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk uang
dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan.
f. Dalam
hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam
bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya.
g. Dalam
hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam
bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net
realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya.
h. Jangka
waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah, pengembalian dana, dan
pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan
nasabah.
i. Pengembalian
Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah dilakukan dalam dua
cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode Pembiayaan,
sesuai dengan jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah.
j. Pembagian
hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung
yang dapat dipertanggungjawabkan.
k. Bank
dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal
masing-masing.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada prinsipnya musyarakah tidak
jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan
sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk
mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah)
yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Dan kedua jenis
perkongsian ini menerapkan sistem bagi hasil dan kerugian.
Mudharabah dan musyarakah memiliki
perbedaan pada beberapa hal : pertama, dalam aqad mudharabah, shahib
al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib,
sedang dalam musyarakah kedua belah pihak ikut andil dalam
pemodalan.; kedua, dalam manajemen mudharabah, shahib
al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun
selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang
dalam musyarakah masing-masing pihak dapat turut dalam
manajemen; ketiga, dalam mudharabah bagi
hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan
setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai
dijalankan, sedang dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil
yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan
frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen; keempat,
dalam mudharabah kerugian ditanggung oleh shahib
al-mal selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian dari
pihak mudharib, sedang dalam musyarakah kedua
pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.
B. Saran
Adapun yang menjadi
saran dalam penulisan makalah ini yaitu penyusun menyadari bahwa penyusun
hanyalah manusia biasa yang tidak pernah luput dari sifat khilaf, salah dan
dosa. Oleh karenanya penyusun mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan penjelasan materi mengenai fiqh
muamalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafe’i, Rachmat.
2004. Fiqih Muamalah Untuk IAIN, Stain, PTAIS, dan Umum. Bandung:
Pustaka Setia.
Antonio, M.S.
2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.
Sumitro, Warkum
2004. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Karim,
Adiwarma.2007. Bank Islam: Analaisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Anonim.2013.syarat
dan rukun mudharabah. https://infodakwahIslam.wordpress.com/2013/0
4/26/syarat-dan-rukun-mudharabah/. 24 maret 2017
Zainuddin,
Zulkifli. Mudharabah dan Musyarakah .https://www.academia.edu/5578757/
MUDHARABAH_DAN_MUSYARAKAH 25 maret 2017
Anonim. Makalah
Musyarakah. http://www.bacalah.ga/2016/11/pengertian-macam-dan-mekanisme.html
.25 maret
2017
0 Response to "Makalah Mudharabah dan Musyarakah"
Post a Comment